Hikayat lada dari India, Kesultanan Banten, hingga Lampung – ‘Saya khawatir ini semua tinggal sejarah’

Butiran-butiran lada nan pedas bisa kita jumpai mulai dari kedai-kedai mi rebus sederhana, hingga restoran-restoran paling mewah. Mungkin tak seberapa harganya. Tapi pada masanya, dialah yang dijuluki Si Raja Rempah.

Saat Kota Roma disandera pada abad kelima, Alaric, Si Raja Visigoth, meminta tebusan barang-barang tak ternilai harganya. Lada masuk dalam daftar permintaan tebusannya.

Lada telah masuk daftar resep dan pengobatan selama lebih dari 4.000 tahun. Orang Romawi memperdagangkan lada dengan harga yang bukan main tingginya.

Setelah Romawi runtuh, bangsa Arab tampil sebagai pemasok utama. Pada Abad Pertengahan, lada berharga 10 kali lipat dari rempah lain.Hampir di semua kota besar di Eropa pada abad itu, pasti ada seruas jalan yang diberi nama dengan bernuansa ‘lada’. Entah itu Pepper Alley, Pepper Gate, atau Rue du Poivre.

Kemakmuran kota-kota pelabuhan seperti Genoa atau Venesia berutang pada aroma lada.

Lada – tentu saja bersama rempah lain, jadi simbol kebangsawanan. Hanya para bangsawan saja yang mampu membaluri daging-daging, yang tadinya hanya berasa asin, dengan lada.

Lada, bersama rempah lainnya pula yang memicu ribuan kapal-kapal besar Portugis diluncurkan mencari benua baru demi menghindari cengkraman monopoli pedagang Arab.

Perdagangan jarak jauh, mengikuti angin monsoon inilah yang akhirnya bikin Nusantara yang sebelumnya telah aktif berniaga, bergeliat dengan aneka kesultanan di pesisirnya.

Salah satunya, Kesultanan Banten.

Flora Carita: Lada
Keterangan gambar,Etsa yang menggambarkan Banten pada masa keemasannya pada abad ketujuh belas. Etsa karya Romeyn de Hooghe. 

Aroma dari ujung barat Jawa

“Banten besar berkembang berjaya karena ada sumber daya yang diperdagangkan. Apa itu? Itu lada!”  cetus Heriyanti Ongkodharma, dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. 

Dia juga peneliti arkeologi sejak tahun 70-an dan penulis dua buku rujukan mengenai Banten, termasuk yang berjudul Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten

“Saya juga melihat perkembangan pembuatan istana dan sebagainya terjadi saat itu. Bahkan, pada masa Sultan Agung itu dibuat Keraton Tirtayasa. Ekspedisi ke luar negeri itu biasa pada saat itu. Dari mana uangnya kalau bukan dari lada?”

Flora Carita: Lada
Keterangan gambar,Kompleks keraton Banten dilengkapi dengan instalasi pengolahan air yang hingga kini masih bisa dilihat sisanya. Banten juga membangun infrastuktur air untuk pertanian, termasuk untuk istana dan tempat plesir para sultan.

Lada aslinya berasal dari India. Tanaman yang merambat ini sekilas mirip pohon sirih. Bulirnya pedas, dan telah diperdagangkan hingga Mesir paling sedikit 4.000 tahun yang lalu. 

Kitab epik Mahabarata mencatat penggunaan lada dalam hidangan berbasis daging. 

Dari India, lada menyebar ke Nusantara dan telah dibudidaya jauh sebelum Kesultanan Banten berdiri.

Pada awal abad ke-16, Kerajaan Sunda berjanji memberi Portugis berkarung-karung lada bila mereka membantu raja menghadapi kekuatan Demak. 

mitra.

“Eksploitasi terhadap penanaman lada luar biasa berkembang, sehingga hasil dari panen lada mampu setiap saat dijual keluar. Beribu-ribu ton,” kata Heriyanti. 

Berkat lada, Banten mampu menembok megah kota-kotanya. Kawasan-kawasan industri–misalkan tukang besi, pembuat gerabah, bengkel, ditempatkan secara khusus. Jalan-jalan diperkeras.

Banten juga dilengkapi dengan pasar-pasar internasional dengan Pelabuhan Karangantu sebagai pintu gerbangnya.

“Banten itu kompleks sekali pada masa berjayanya. Dan disebutkan juga oleh orang Belanda sendiri bahwa Kota Banten itu, kalau kita berjalan mengelilinginya, persis seperti Amsterdam,” tutup Heriyanti. 

Sumber : https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4n24lke05jo

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *